JAKARTA, PANJI RAKYAT: Kasus korupsi yang menjerat Bupati Tanah Bambu periode 2010-2015 dan 2016-2018, Mardani H. Maming, harus menjadi bahan evaluasi dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDA).
Atas kasusnya ini, Maming dijatuhkan dengan vonis 10 tahun penjara beserta pidana uang pengganti Rp 110,6 miliar.
BACA JUGA: Putusan Ferdy Sambo Harus Mencerminkan Hukum dan Keadilan
Oleh karena itu, kasus korupsi Maming menjadi titik pelajaran dan manfaat sebesar-besarnya bagi penerimaan negara, upaya menyejahterakan masyarakat, dan menghindarkan diri dari praktik-praktik korupsi.
Hal demikian, dikatakan Jurubicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri yang memberi apresiasi terhadap Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk Maming.
“Hal ini artinya dakwaan yang disampaikan KPK terbukti di persidangan,” ujar Ali kepada wartawan, Senin (13/2).
Ia menuturkan, penanganan kasus di sektor pertambangan sama dengan lima fokus area pemberantasan korupsi yang dicanangkan KPK.
Bisnis, politik, penegakan hukum, layanan publik, serta korupsi yang terkait dengan SDA, itulah lima fokus KPK.
Kasus Korupsi di lima fokus tersebut, akan menyangkut hajat hidup orang lain, mempunyai tingkat risiko korupsi yang tinggi, serta berpotensi mengakibatkan kerugian besar pada keuangan negara ataupun perekonomian nasional.
Pada sektor SDA, KPK telah melakukan berbagai kajian untuk menimalisir permasalahan tata kelola dari hulu hingga hilir.
Dengan sinergi pada pihak yang terlibat, KPK tidak hanya melakukan indentifikasi titik kerawanan korupsi pada sektor pertambangan saja, tapi juga mencakup sektor perkebunan, kehutanan, hingga SDA laut.
Setelah melakukan kajian pada pengawasan mineral dan batubara, KPK menemukan sejumlah permasalahan dalam tata kelola dan pengawasan pada 2019 silam.
Adapun kesalahan yang ditemukan merupakan perizinan sektor minerba, khususnya mengenai perbedaan data Izin Usaha Pertambangan antara pusat dan daerah; rencana perpanjangan pada sejumlah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berpotensi tidak sesuai dengan UU 4/2009 tentang Minerba, terkait luasan wilayah kerja.
Kemudian, tidak optimalnya sistem monitoring produksi dan penjualan batubara. Ditjen Minerba telah memiliki aplikasi Modul Verifikasi Penjualan (MVP), namun kehandalan dan implementasi khususnya mengenai produksi, penjualan batubara di Daerah belum dapat dipastikan berjalan dengan baik.
Dengan begitu, KPK memberikan rekomendasi yakni perpanjangan PKP2B dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan UU 4/2009 tentang Minerba; menyederhanakan dan mengintegrasikan seluruh sistem pengawasan/monitoring yang ada pada Ditjen Minerba, sistem monitoring produksi dan penjualan pada Ditjen Minerba agar terintegrasi dengan sistem/mekanisme monitoring lainnya di Kementerian/Lembaga terkait.
Selanjutnya, dalam implementasi quantity assurance dalam kegiatan verifikasi kualitas dan kuantitas penjualan batubara ; dan mendorong inventarisasi asset pada sejumlah PKP2B yang akan berakhir kontraknya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.
BACA JUGA: Dampak Gempa Garut 511 Rumah Rusak, Minta Diperbaiki Pemerintah
“KPK berharap dengan perbaikan tata kelola pengelolaan SDA dari hulu-hilir ini, bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penerimaan negara, pensejahteraan masyarakat, serta terhindar dari praktik-praktik korupsi,” pungkas Ali.