JAKARTA, PANJI RAKYAT: Besaran utang negara telah mencapai Rp 7.733 triliun atau sebesar 38 persen dari PDB, pada periode kedua Presiden Joko Widodo. Bila Utang negara bertambah, maka akan menyulitkan rakyat dan Pemerintah, di saat jabatan Jokowi berakhir.
Hal itu, dikatakan oleh Ekonom dari Indef, Nailul Huda, walau pada Undang-undang No 1/2003 Tentang Utang Negara mengamanatkan agar utang tidak boleh lebih dari 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), akan tetapi kenaikan hutang harus menjadi pemerhatiaan khusus bagi negara.
BACA JUGA: Mau Di bawa ke mana? Untung Terciduk, Polisi Tangkap Pelaku Penimbun BBM 1300 Liter
“Pada awal periode Pak Jokowi, di angka 30 persen, sekarang naik lagi bisa dibilang 38 persen sekian terhadap PDB, jadi ini kenaikan dalam hal rasio utang pada PDB, ini harus diwaspadai,” kata Nailul, sebagaimana dilansir dari Rmol, Kamis (19/1).
Saat terjadi awal Pandemi Covid-19 menurutnya, pemerintah wajar untuk berhutang sebagai keperluan bantuan sosial untuk rakyat.
Pada saat ini, ekonomi Indonesia mulai membaik, tapi dirinya mempertanyakan, atas kebutuhan apa negara harus menambah hutang. “Kita juga melihat bahwa di satu sisi, ini kan banyak insentif-insentif yang diberikan kepada pengusaha, yang akhirnya akan mengurangi potensi penerimaan negara. Itu juga perlu dievaluasi, apakah itu efektif atau tidak, dan apakah perlu dilanjutkan atau tidak program-progam insentif tersebut,” katanya.
“Dua hal ini yang seharusnya bisa dilakukan terlebih dahulu pada awal tahun ini, agar pengelolaa utang ini bisa akuntable, semakin trasnparan dsb. Nah ini menurut saya yang harus diperhatikan pemerintah,” tutupnya.
BACA JUGA: Windy Idol Dicegah Berpergian Ke Luar Negeri Sama KPK, Kira-kira Ada apa?