JAKARTA, PANJIRAKYAT: Kemenangan Pemilihan Umum 2024 pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, membentuk koalisi besar partai pendukung, Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Pengamat politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN) Yogyakarta, Ludiro Madu mengatakan, sampai waktu ini, hanya satu partai oposisi pada pemerintahan mendatang yaitu, PDIP yang belum bergabunng koalisi
Hal ini memunculkan pertanyaan tentang peran PDIP sebagai partai oposisi tunggal dalam lima tahun ke depan.
Peluang bergabung partai yang diketuai Megawati Soekarnoputri tersebut ke pemerintahan Prabowo-Gibran memang semakin menguat hingga sebelum pemanggilan nama-nama calon anggota kabinet pemerintahan baru.
“Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bahkan pernah mengajak PDIP untuk bergabung dengan pemerintahan, dengan alasan tidak perlunya oposisi. Namun, apakah benar sebuah demokrasi tidak membutuhkan oposisi?,” kata melansir Teropongmedia.id, Jumat (18/10/2024).
Fungsi Oposisi
Peran oposisi dalam demokrasi sangatlah penting. Mengingat perannya sebagai penyeimbang kekuasaan, pengawas jalannya pemerintahan, dan penyalur aspirasi masyarakat yang mungkin berbeda dengan kebijakan pemerintah.
Jika tidak adanya penyeimbang ini, pemerintahan berpotensi menjadi otoriter dan abai terhadap suara kritis masyarakat.
Ludiro menuturkan , PDIP sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2024, memiliki posisi unik untuk menjadi oposisi yang kuat.
Dengan perolehan suara sebesar 22,32% (KPU, 2024), PDIP memiliki basis dukungan yang signifikan dari masyarakat. Hal ini memberikan legitimasi bagi PDIP untuk menjadi suara kritis terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.
Meski berat melawan koalisi besar pada pemerintahan Prabowo-Gibran, PDIP dapat mengambil peran politiknya sebagai oposisi bersama kekuatan masyarakat sipil.
“Peran signifikan politik PDIP sebagai oposisi sangat dibutuhkan rakyat dengan bergandengan tangan dengan kekuatan masyarakat sipil sebagai penyeimbang kekuatan politik di republik ini (Sandino, 2024),” ujarnya.
Namun, menjadi oposisi tunggal bukanlah tugas yang mudah. PDIP akan menghadapi tantangan besar dalam mengimbangi kekuatan koalisi pemerintah yang menguasai mayoritas kursi di parlemen.
Dengan total perolehan suara gabungan partai koalisi mencapai 63,46% (Sandino, 2024), PDIP perlu strategi jitu untuk tetap relevan dan efektif sebagai oposisi.
Strategi
Salah satu strategi untuk PDIP adalah membangun koalisi dengan elemen masyarakat sipil, akademisi, dan kelompok kritis lainnya. Dengan membangun jaringan yang luas, PDIP dapat memperkuat posisinya sebagai corong aspirasi masyarakat yang tidak terwakili oleh pemerintah.
Menurut dia, PDIP juga perlu mempertajam fungsi pengawasan dan kritik konstruktifnya terhadap kebijakan pemerintah. Partai ini harus mampu menyuarakan isu-isu krusial yang mungkin terabaikan oleh pemerintah, seperti perlindungan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, dan keadilan sosial-ekonomi.
Di sisi lain, PDIP juga harus menghindari menjadi oposisi yang hanya bersifat reaktif dan destruktif. Sebagai partai besar dengan pengalaman pemerintahan, PDIP harapannya mampu memberikan alternatif kebijakan yang konkret dan solusi atas permasalahan bangsa.
Dengan demikian, PDIP dapat membuktikan diri sebagai oposisi yang berkualitas dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Menjadi oposisi tunggal juga membuka peluang bagi PDIP untuk membangun citra sebagai partai yang konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat.
Hal ini dapat menjadi modal penting bagi PDIP dalam menghadapi Pemilu 2029. Seperti menurut Girindra Sandino, PDIP berpotensi mendapatkan keuntungan politik berupa insentif elektoral pada pemilu berikutnya jika mampu menjalankan peran oposisi dengan baik (Sandino, 2024).
Namun, tantangan terbesar bagi PDIP adalah bagaimana mempertahankan konsistensi sebagai oposisi di tengah godaan untuk bergabung dengan pemerintah.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa partai oposisi seringkali akhirnya memilih bergabung dengan koalisi pemerintah demi mendapatkan jatah kekuasaan.
PDIP harus mampu meyakinkan kadernya dan publik bahwa peran oposisi yang berjalan bukan semata-mata demi kepentingan partai, melainkan demi menjaga keseimbangan demokrasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, memiliki peran kunci dalam memastikan konsistensi partainya sebagai oposisi.
Meski demikian, PDIP juga perlu bersikap fleksibel dalam menjalankan peran oposisinya. Partai ini harus mampu membedakan antara sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan sikap menentang demi menentang.
PDIP harus siap mendukung kebijakan pemerintah yang sejalan dengan kepentingan rakyat, tetap kritis terhadap kebijakan yang merugikan.
“Keberadaan PDIP sebagai oposisi tunggal juga menjadi tantangan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Pemerintah harus menunjukkan kedewasaan berdemokrasi dengan menghargai suara kritis dari oposisi. Pemerintah tidak boleh terjebak dalam sikap arogan mayoritas yang mengabaikan suara minoritas,” jelasnya.
Dalam konteks ini, pemerintahan Prabowo-Gibran justru dapat memanfaatkan keberadaan PDIP sebagai oposisi untuk memperkuat legitimasi dan kualitas kebijakan yang diambil. Kritik dan masukan dari oposisi dapat menjadi bahan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan pemerintah.
“Pada akhirnya, keberhasilan PDIP sebagai oposisi tunggal akan sangat bergantung pada konsistensi dan kualitas peran yang dijalankannya. PDIP harus mampu membuktikan bahwa keberadaan oposisi justru memperkuat, bukan melemahkan demokrasi Indonesia,” bebernya.
Dengan menjalankan peran oposisi secara cerdas dan bertanggung jawab, PDIP tidak hanya berkontribusi pada penguatan demokrasi Indonesia, tetapi juga membangun pondasi yang kuat untuk masa depan partai.
Jika berhasil, PDIP dapat menjadi contoh bahwa menjadi oposisi bukanlah posisi yang lemah, melainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan menyuarakan aspirasi rakyat.
(Saepul)