JAKARTA, PANJIRAKYAT: Komisi Pemilihan Umum (KPU) menampik anggapan bahwa keputusan lembaganya merahasiakan dokumen calon presiden dan wakil presiden (pilpres) untuk melindungi perkara dugaan polemik ijazah Presiden Joko Widodo maupun Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin menegaskan, kebijakan ini tanpa maksud untuk melindungi individu tertentu atau merespons suatu kasus yang spesifik. Ketentuan tersebut, sesuai dengan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 mengenai informasi publik yang dikecualikan terkait persyaratan calon presiden dan wakil presiden.
Afifuddin menuturkan, kebijakan tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 17 huruf g dan huruf h Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Adapun isi Pasal 17 huruf g berbunyi:
“Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang.”
Sementara itu, Pasal 17 huruf h menyebutkan:
*“Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
riwayat dan kondisi anggota keluarga;
riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau
catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.”*
Afifuddin menambahkan bahwa KPU hanya menyesuaikan kebijakan dengan klasifikasi dokumen tertentu yang memang oleh regulasi diwajibkan untuk tidak dipublikasikan secara bebas, terutama yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan informasi medis pribadi.
“Jadi pada intinya kami hanya menyesuaikan pada dokumen-dokumen tertentu yang ada ‘aturan untuk dijaga kerahasiaannya,’ misalnya berkaitan dengan rekam medis, kemudian dokumen sekolah atau ijazah, dan selanjutnya itu ya yang bersangkutan, yang harus diminta, kemudian atau atas keputusan pengadilan,” ungkap Afifuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025).
Ia menegaskan bahwa tidak ada pihak atau tokoh tertentu yang diistimewakan atau dilindungi dengan keputusan tersebut. Proses ini murni mengikuti uji konsekuensi informasi publik yang harus dilakukan lembaga sesuai dengan permintaan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
“Tidak ada yang dilindungi, karena ini ada uji konsekuensi yang harus kami lakukan, ketika ada pihak meminta di PPID kami. Jadi ada informasi-informasi yang lembaga itu kemudian harus mengatur mana yang dikecualikan, mana yang tidak,” jelasnya.
(Saepul)