JAKARTA, PANJIRAKYAT: Kematian seorang warga Irak, Salwan Momika namanya mencuat kembali, akibat aksi provokatifnya yang kerap membakar kitab suci Al-Qur’an di Swedia pada 2023, telah memicu serangkaian pertanyaan yang kompleks.
Aksi dari Salwan tidak hanya berelevansi pada isu personalisasi dan kebebasan berekspresi, tetapi juga mencakup situasi politik Swedia, dinamika internasional, serta ketegangan yang timbul antara dunia Arab dan negara-negara Eropa.
Momika tewas dengan tragis ditembak mati Pada 29 Januari 2025. Kabar maut tersebut, sehari sebelum pengadilan Swedia mengagendakan untuk memutuskan kasusnya terkait tuduhan menghasut kebencian etnis.
Kematian ini membuat putusan pengadilan ditunda hingga 3 Februari, menambah ketegangan yang sudah ada di tingkat domestik maupun internasional.
Profil Salwan Momika
Salwan Momika lahir dalam keluarga Katolik Asiria di Irak, sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setelah beberapa kali bergabung dengan berbagai kelompok militer, Momika akhirnya mencari suaka di Swedia pada 2018.
Sejak tiba di Swedia, ia mengidentifikasi dirinya sebagai ateis dan bahkan mencoba terjun ke dunia politik di negara tersebut. Momika menantang norma-norma agama, terutama di Irak, negara yang secara budaya sangat melekat pada ajaran Islam.
Namun, di balik statusnya sebagai seorang ateis, Momika menghadapi sejumlah masalah hukum. Pada Oktober 2023, izin tinggalnya di Swedia dicabut karena informasi palsu dalam permohonan suakanya. Irak kemudian meminta ekstradisinya, namun deportasinya ke negara asalnya ditunda.
Tidak menyerah, Momika mencoba mencari suaka di Norwegia, tetapi akhirnya dideportasi kembali ke Swedia. Kisah hidup Momika menggambarkan potret kompleksnya hubungan antara identitas pribadi, kebebasan beragama, dan masalah imigrasi di Eropa.
Fenomena Ateisme di Timur Tengah
Kematian Momika juga membuka pembicaraan tentang fenomena meningkatnya jumlah ateis di dunia Arab, terutama di kalangan kaum muda. Studi terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak orang di negara-negara Arab yang mengidentifikasi diri mereka sebagai “tidak religius.”
Namun, sebagian besar dari mereka memilih untuk tidak mengungkapkan pandangan ini secara terbuka karena takut akan reperkusi sosial, hukum, atau politik yang keras.
Banyak negara Arab, seperti Arab Saudi, menerapkan hukum syariah yang menghukum individu yang dianggap murtad, yaitu yang meninggalkan agama Islam. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung ekspresi ateisme secara terbuka.
Bahkan, dalam beberapa kasus, ateisme dianggap sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas dan legitimasi rezim-rezim di negara-negara tersebut yang menggunakan agama sebagai sumber kekuatan dan legitimasi politik mereka.
Penting untuk dicatat bahwa jumlah ateis di negara-negara Arab kemungkinan jauh lebih tinggi daripada yang tercatat, karena ketidakmampuan atau ketakutan untuk mengungkapkan pandangan mereka secara bebas. Beberapa analis berpendapat bahwa ateisme dapat dianggap sebagai ancaman eksistensial bagi rezim yang ingin mempertahankan kendali atas populasi melalui ajaran agama.
Kasus Salwan Momika menyoroti ketegangan mendalam antara kebebasan berekspresi dan sentimen keagamaan. Tindakannya yang membakar Al-Qur’an memicu kemarahan di kalangan banyak negara Muslim, yang menganggapnya sebagai penghinaan terhadap simbol agama mereka.
Meskipun pemerintah Swedia mengutuk aksi tersebut, mereka tetap membela hak kebebasan berbicara yang dijamin oleh konstitusi negara tersebut.
(Saepul)