JAKARTA, PANJIRAKYAT: Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menanggapi kebijakan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi, bagi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemerintah provinsi boleh berpoligami.
Ia menyatakan, akan menanyakan terkait kebijakan itu kepada Teguh, dalam kunjungannya dalam rangka persrtujuan bangunan gedung.
“Senin nanti (20/1), saya akan berkunjung ke DKI. Hari Senin, saya akan berkunjung ke DKI jam 3 atau setengah 4 (sore) ya dalam rangka mengecek persetujuan bangunan gedung. Di situ, nanti saya akan tanyakan juga,” kata Tito melansir Antara, Sabtu (18/01/2025).
Dengan begitu, Tito tak mau merespon lebih jauh mengenai kebijakan poligami yang diterbitkan oleh Pj tersebut.
“Saya belum bisa menjawab sesuatu yang belum saya baca. Saya akan baca dulu, dan saya akan tanya,” tambahnya.
Diketahui sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Pergub ini menggantikan Keputusan Gubernur Nomor 2799/2004 yang dinilai sudah tidak relevan.
Pergub tersebut terdiri atas delapan bab, mencakup berbagai ketentuan mulai dari pelaporan perkawinan, izin poligami, izin atau keterangan perceraian, hingga hak atas penghasilan serta pendelegasian wewenang.
Berikut beberapa poin utama dari aturan baru tersebut:
Dalam Bab II, disebutkan bahwa ASN yang telah menikah wajib untuk melaporkan perkawinannya paling lambat satu tahun setelah pernikahan berlangsung. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenai hukuman disiplin berat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pergub ini juga mengatur bahwa ASN pria yang ingin berpoligami wajib memperoleh izin tertulis dari pejabat berwenang sebelum melangsungkan perkawinan. Jika tidak, ASN tersebut akan dikenai hukuman disiplin berat.
Izin poligami hanya dapat diberikan jika ASN tersebut memenuhi sejumlah syarat, di antaranya:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
- Istri mengalami cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak bisa melahirkan keturunan setelah 10 tahun pernikahan.
- Mendapat persetujuan tertulis dari istri atau para istri.
- Memiliki penghasilan cukup untuk membiayai seluruh keluarga.
- Sanggup berlaku adil terhadap para istri dan anak-anak.
Namun, izin tersebut tidak akan diberikan jika bertentangan dengan ajaran agama, melanggar peraturan perundang-undangan, atau alasan yang diajukan dianggap tidak rasional.
(Saepul)