BANDUNG,PANJIRAKYAT: Lagu Majelis Lidah Berduri – Selat, Malaka menyajikan narasi lirik yang kompleks, penuh dengan simbolisme dan referensi historis khususnya terkait dengan tokoh revolusioner Tan Malaka.
Selat, Malaka
Ia bertemu laki-laki itu di buku sejarah
Lalu mereka kencan di kedai
Melubangi waktu dengan mencerca astrologi
Cinta lahir dari judi dan menguat karena lampu mati
Sehingga lampu mati
Aku nikahi engkau Tan Malaka
Dengan mas kawin tiket kapal laut seputar Asia, tunai
Tunai, tunai, tunai
Aku nikahi engkau Tan Malaka
Dengan mas kawin tiket kapal laut seputar Asia, tunai
Tunai, tunai, tunai
Anak-anak kita dulunya revolusi semua
Syukurlah, kini sudah pada mati sempurna
Anak-anak kita dulunya revolusi semua
Syukurlah, kini empat sehat lima sempurna
Syukurlah, syukurlah
Aku nikahi engkau Tan Malaka
Dengan mas kawin tiket kapal laut seputar Asia, tunai
Tunai, tunai, tunai
Aku nikahi engkau Tan Malaka
Dengan mas kawin tiket kapal laut seputar Asia, tunai
Tunai, tunai, tunai
Ia bertemu laki-laki itu di buku sejarah
Lalu mereka kencan
Makna lagu Majelis Lidah Berduri – Selat, Malaka
Pertemuan Sejarah dan Romantisme
Lirik awal yang menyebutkan “Ia bertemu laki-laki itu di buku sejarah” menggambarkan seseorang yang menemukan tokoh Tan Malaka dalam catatan sejarah. Ada personifikasi hubungan romantis antara tokoh sejarah dan subjek dalam lagu, dengan “kencan di kedai” sebagai metafora yang memadukan realitas sejarah dengan pengalaman personal yang lebih intim dan akrab. Ini bisa dilihat sebagai gambaran tentang bagaimana ide-ide besar dalam sejarah dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan pemikiran personal seseorang.
Kritik Terhadap Astrologi dan Takdir
“Lubangi waktu dengan mencerca astrologi” menandakan penolakan terhadap keyakinan pada nasib yang diatur oleh kekuatan di luar kendali manusia, seperti astrologi. Sebaliknya, ada penekanan pada tindakan nyata dan perjuangan yang lebih konkret, seperti yang dilakukan Tan Malaka dalam konteks revolusi. Cinta, yang lahir dari “judi” dan “menguat karena lampu mati,” menunjukkan bahwa cinta dan perlawanan itu berisiko dan seringkali berkembang dalam kondisi ketidakpastian atau kesulitan, seperti saat revolusi terjadi di tengah krisis.
Simbolisme Pernikahan dengan Tan Malaka
Pernikahan dengan Tan Malaka di sini merupakan simbol pernikahan dengan ideologi revolusi yang diperjuangkan oleh Tan Malaka, terutama anti-imperialisme, sosialisme, dan perjuangan untuk kemerdekaan. “Mas kawin tiket kapal laut seputar Asia, tunai” menggambarkan perjalanan fisik dan ideologis yang dilalui oleh Tan Malaka, yang sering berpindah-pindah di Asia selama hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini juga bisa mengacu pada diaspora ide-ide revolusioner yang menyebar lintas negara di Asia, seperti yang dilakukan Tan Malaka dalam karir politiknya.
Anak-anak Revolusi
“Anak-anak kita dulunya revolusi semua” menyiratkan bahwa generasi sebelumnya adalah produk dari perjuangan revolusi. Namun, ada kontras dalam dua kalimat selanjutnya. Di satu sisi, kematian revolusi bisa dilihat sebagai kematian fisik para pejuang revolusi, sedangkan kalimat “Syukurlah, kini empat sehat lima sempurna” adalah sebuah kritik yang mengindikasikan bahwa perjuangan revolusi telah digantikan oleh stabilitas yang mungkin materialistis dan dangkal, tanpa semangat perubahan yang dahulu mereka perjuangkan.
Ironi dan Satire
Secara keseluruhan, lagu ini tampak dipenuhi dengan ironi dan sindiran. Penggunaan istilah “nikah,” “tunai,” dan “tiket kapal laut” adalah simbol-simbol yang mencoba menggabungkan antara dunia ideologis dengan dunia nyata yang lebih praktis dan transaksional. Ini bisa diartikan sebagai kritik terhadap bagaimana nilai-nilai revolusi yang dahulu diperjuangkan kini mungkin telah berakhir menjadi komoditas atau ritual kosong dalam masyarakat modern.
Nostalgia dan Refleksi
Lirik “Aku nikahi engkau Tan Malaka” bisa diartikan sebagai bentuk nostalgia atau refleksi dari seseorang yang merindukan masa ketika semangat revolusi masih hidup dan mendominasi kehidupan sehari-hari. Namun, pada saat yang sama, ada kesadaran bahwa dunia telah berubah, dan cita-cita revolusi mungkin tidak lagi relevan dalam konteks saat ini.
(Agung)