BANDUNG, PANJIRAKYAT: Mitos yang sudah berkembang pada telinga masyarakat, dengan narasi seorang presiden Indonesia tidak boleh mengunjungi Kediri, Jawa Timur.
Lantaran, jika ada seorang pemimpin yang mengunjungi wilayah tesebut, bisa lengser atau turun dari jabatannya. Muncul kepercayaan ini berawal dari peristiwa sejarah yang melibatkan presiden-presiden Indonesia yang pernah berkunjung ke Kediri dan kemudian lengser.
Awal Munculnya Mitos Petaka Presiden dari Kediri
Konon, beberapa presiden yang pernah mengunjungi Kediri, seperti Presiden Soekarno, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), selepas mengujungi Kediri mengalami peristiwa geo politik, yang berujung lengser.
Bahkan, Soeharto, sebagai presiden terlama memimpin Indonesia tepatnya lebih tiga dekade, kabarnya menjadi pantangan tidak menyambangi daerah yang berjuluk ‘Kota Tahu’ tersebut.
Mitos tersebut berhubungan dengan sejarah Kerajaan Kediri yang terkenal dengan kekuatan militernya. Dalam riwayat Babat Kadhiri, terdapat sebuah kutukan yang menjadi keyakinan relevansi dengan nasib kerajaan Kediri.
Kutukan itu berbunyi, “Jika pasukan Kediri menyerang musuh di daerah lawan lebih dulu, maka Kediri akan selalu memenangkan pertempuran. Namun, jika musuh menyerang pusat kerajaan Kediri terlebih dahulu, maka musuh tersebut akan meraih kemenangan gemilang.”
Arti Mitos
Masyarakat yang percaya pada mitos ini menafsirkan bahwa jika seorang presiden berani berkunjung ke Kediri, hal itu menjadi wujud dari keberanian mereka untuk menghadapi tekanan dari lawan politik, yang pada akhirnya bisa membuat posisi mereka rentan dan mudah terguling.
Selain itu, beberapa tempat di Kediri juga bermitos lekat mistis yang mendukung mitos ini. Misalnya, Simpang Lima Gumul, yang berdiri pusat Kerajaan Kediri, dan Sungai Brantas, yang menjadi tapal batas kerajaan.
Keduanya sering berkaitan dengan aura magis yang dapat mempengaruhi nasib seseorang, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan.
Namun, meskipun mitos ini cukup populer, penting untuk diingat bahwa tidak ada bukti ilmiah atau sejarah yang mendukung kebenaran dari mitos tersebut.
Kepercayaan ini lebih banyak berkembang sebagai cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang kemudian membentuk pola pikir masyarakat setempat.
Sama halnya dengan mitos di Kabupaten Bojonegoro, yang memiliki cerita serupa terkait dengan kedatangan presiden, dimana hanya Soekarno yang dikatakan pernah menginjakkan kaki di daerah tersebut.
Meski begitu, tidak ada bukti konkret yang menghubungkan mitos-mitos tersebut dengan peristiwa politik yang terjadi.
Penting bagi kita untuk tetap berpikiran kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh kepercayaan yang belum tentu memiliki dasar yang kuat.
Mitos-mitos seperti ini, meskipun menarik dan menjadi bagian dari warisan budaya, sebaiknya dipandang sebagai cerita legenda, bukan sebagai kenyataan yang bisa mempengaruhi keputusan-keputusan politik atau kehidupan nyata.
(Saepul)