JAKARTA, PANJIRAKYAT: Pernyataan kontroversi dari mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) , Sofian Effendi resmi dicabut dan meminta maaf kepada publik. Namun, dinilai tak akan mengakhiri perdebatan terkait dugaan ijazah palsu Jokowi.
Ahli hukum tata negara, Refly Harun menilai, keaslian ijazah itu tidak berpatok pada testimoni Sofian Effendi yang tidak konsisten.
Ia menambahkan, hierarki pembuktian hukum, kesaksian Sofyan memiliki bobot lemah lantaran tidak sesuai dengan pengetahuan langsung.
“Pernyataan Sofian Effendi itu, kalau di dalam pembuktian, barangkali bisa dinilai sebagai sebuah keterangan saksi atau petunjuk saja karena dia pun cuma mendengar dari orang lain. Jadi dia bukan yang langsung mengetahui sebenarnya,” kata Refli, dikutip dari tayangan pada kanal YouTube pribadinya, Jumat (18/07/2025).
Ia juga menilai, kenyataan yang paling kuat bisa beralndas pada fisik ijazah itu sendiri, yang wujudnya telah tersebar luas pada ranah publik.
Refly mengacu pada dokumen yang pernah diperlihatkan oleh Bareskrim Mabes Polri dan telah didigitalisasi, serta dianalisis menggunakan metode digital forensik oleh pakar seperti Roy Suryo dan Rismon Sianipar.
Padangan utama analisis itu, kata Refly, perbedaan kontras yang tertera di ijazah dengan penampilan fisik Jokowi usai menjabat sebagai presiden.
“Secara kasat mata kita sudah bisa membedakan antara Jokowi yang wisuda, yang hidungnya lancip, ganteng, pakai kumis, bibir tebal, dengan Jokowi yang presiden itu not match ya, tidak nyambung, tidak sama. Demikian juga foto yang ada di ijazah juga not match dengan foto Jokowi Presiden. Sebaliknya foto ijazah dengan foto wisuda match,” jelasnya.
Menurutnya, kesesuaian antara foto saat momen wisuda dengan foto yang tercetak pada ijazah menjadi indikator kunci yang dapat menguji keabsahan dolkumen tersebut secara meyakinkan.
Diketahui sebelumnya, eks Rektor UGM, Sofian Effendi secara resmi mencabut seluruh ucapannya dan menaymapikan permintaan maaf kepada publik.
Meski begitu, seperti yang dikatakan oleh Refly Harun, pencabutan pernyataan itu dinilai tak memudarkan pencarian fakta melalui bukti-bukti lain yang dianggap otentik.
(Saepul)